Arsip yang tersedia

Minggu, 10 November 2013

Wakalah Kafalah Qiroth Rahn dan Hawalah



Disusun Oleh : Muhamad Wahrul Wahid,Iin Masidhoh,dan Maulana Mahmud.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil’alamin
         Segala puji bagi AllahTuhan Semesta Alam yang telah memberi karunia berupa buah pikiran. Segala puji allah yang memberi iradah, kehendak, sehingga kami bisa membuat makalah ini.  Yaitu sebagai rasa syukur kami, sebagai hamba-Nya.  Rasanya tak ada sesuatu yang pantas untuk diutarakan pada kesempatan ini, selain rasa syukur ke hadiraNya. Banyak sekali ni’mat Allah yang tercurahkan, sehingga terlalu sedikit yang kami sadari dan kami syukuri.Semoga disetiap perjalanan kami selalu dilindungi aleh allah SWT.
         Shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi mulia, Muhammad Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan seluruh kaum mukminin wal mukminat. Semoga Allah memampukan kita mengikuti sunnah beliau dan melanjutkan perjuangan beliau menyeru ummat untuk menuju kepada Allah dan agama-Nya.
       Hadirnya makalah ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya dan semoga amal-amal baik kami selalu di catat di sisi Allah SWT.
Walhamdulillahi rabbil’alamin


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI
BAB I   PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A.Wakalah
1.      Pengertian Wakalah
2.      Landasan Hukum Wakalah
3.      Rukun Wakalah
4.      Syarat Wakalah
B.     Kafalah
1.      Pengertian Kafalah
2.      Landasan Hukum Kafalah
3.      Rukun dan Syarat Kafalah
4.      Jenis-Jenis Kafalah
5.      Pelaksanaan Kafalah
C.     Hiwalah
1.      Pengertian Hiwalah
2.      Landasan Hukum Hiwalah
3.      Rukun dan Syarat Hiwalah
4.      Pembagian Hiwalah
5.      Akibat Hukum Hiwalah
6.      Berakhirnya Akad Hiwalah
7.      Penerapan Hiwalah
D.    Rahn
1.      Pengertian Rahn
2.      Landasan Hukum Rahn
3.      Rukun dan Syarat Rahn
4.      Pengambilan Manfaat Barang Gadai
5.      Resiko Kerusakan Marhun
6.      Penyelesaian Gadai
E.     Qiradh
1.      Pengertian Qiradh
2.      Landsan Hukum Qiradh
3.      Rukun Qiradh
4.      Pertentangan Antara Pemodal dan Pekerja
5.      Hal yang Membatalkan Qiradh

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Kritik dan Saran




BAB I
PENDAHULUAN

Muamalah merupakan aktivitas manusia yang berkaitan dengan tindakan hukum dalam persoalan-persoalan keduniaan, maka sangat diperlukan untuk mengetahui beberapa persoalan yang berkaitan dengan pemikiran muamalah. Berkaitan langsung dengan pemikiran ekonomi  Islam yang merupakan prasyarat dasar yang mesti diidentifikasi dan dipenuhi sebelum memasuki tahapan implementasi pengembangan maumalah atau ekonomi Islam.
Muamalah dalam Islam dilandasi pemikiran bahwa setiap kegiatan dan aktivitas manusia memiliki dimensi “ibadah” yang dapat diimplementasikan pada setiap level kegiatan. Dengan aqidah yang benar akan dapat menghasilkan perbuatan baik yang mencerminkan suatu akhlak mulia.
Kesuksesan dalam aspek material tidaklah bermakna apabila mengakibatkan kerusakan dalam aspek kemanusiaan lainnya seperti persaudaraan dan moralitas.Dalam rangka penyelarasan kegiatan yang berbeda, perlu ada sistem yang dilengkapi dengan hukum syariah yang dilaksanakan selaras dengan hukum positif yang berlaku  dalam suatu sistem kemasyarakatn.
Implementasi syariah-akhlak diharapkan akan menghasilkan suatu fenomena kebersamaan dalam melaksanakan muamalah yang mengutamakaan kesejahteraan bersama dalam pencapaian tujuan aktivitas muamalah. Dasar-dasar syariah dapat dijabarkan dalam bentuk pilar-pilar yang akan mewarnai sifat dan bentuk transaksi keuangan yang dioperasikan, yaitu aspek keadilan; kemaslahatan dan keseimbangan. Semua upaya pencapaian dalam muamalah, tujuan puncaknya adalah untuk mencapai mardlatillah (mencapai keridlaan Allah).    





BAB II
PEMBAHASAN


A.    WAKALAH

1.      Pengertian Wakalah
  Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil[1]. Al-wakalah menurut istilah para ulama didefinisikan sebagai berikut :
a.       Golongan Malikiyah : “Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban)
b.      Golongan Hanafiyah : “Seseorang menempati diri orang lain dalam pengelolaan”
c.       Golongan Syafi’iyah : “Seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”
d.      Golongan Hambali : “permintaan ganti seseorang yang didalamnya terdapat penggantian hak Allah dan hak manusia”
e.       Ulama fiqh klasik Al-Dhimyati : “seseorang menyerahkan urusannya kepada yang lain yang didalamnya terdapat penggantian”
f.       Imam Taqy : “Seseorang yang menyerahkan hartanya untuk dikelola kepada orang lain ketika hidupnya”
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang mewakilkan masih hidup[2].
Wakalah dalam pegertian penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat juga terdapat dalam kata Al-hifzhu yang berarti pemeliharaan[3]. Karena itu penggunaan kata wakalah atau wikalah dianggap bermakna sama dengan hifzhun.
2.      Landasan Syar’i
a.       Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya Wakalah adalah firman Allah SWT dalam surat alkahfi  :

Artinya :
“dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS Al-Kahfi )
       Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.dalam surat yusuf 55

”Berkatalah Yusuf, ” Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (QS Yusuf : 55)

          Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf as siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah untuk menjaga “Federal Reserve” negeri Mesir





b.      Hadits


أَبَا سَمِعْتُ كُهَيْلٍ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ شُعْبَةُ حَدَّثَنَا حَرْبٍ بْنُ سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا بْنَ عَنْهُ اللَّهُ رَضِيَ هُرَيْرَةَ أَبِي عَنْ الرَّحْمَنِ عَبْدِ سَلَمَةَ
بِهِ فَهَمَّ فَأَغْلَظَ يَتَقَاضَاهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيَّ أَتَى رَجُلًا أَنَّ
مَقَالًا الْحَقِّ لِصَاحِبِ فَإِنَّ دَعُوهُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ رَسُولُ فَقَالَ أَصْحَابُهُ
أَعْطُوهُ فَقَالَ سِنِّهِ مِنْ أَمْثَلَ إِلَّا اللَّهِ رَسُولَ يَا قَالُوا سِنِّهِ مِثْلَ سِنًّا أَعْطُوهُ قَالَ ثُمَّ قَضَاءً أَحْسَنَكُمْ خَيْرِكُمْ مِنْ فَإِنَّ

Artinya Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk menagih hutang kepada beliau dengan cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk “menanganinya”. Beliau bersabda, ‘Biarkan ia, sebab pemilik hak berhak untuk berbicara;’ lalu sabdanya, ‘Berikanlah (bayarkanlah) kepada orang ini unta umur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)’. Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.’ Rasulullah kemudian bersabda: ‘Berikanlah kepada-nya. Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam membayar.”(HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

3.      RUKUN WAKALAH
Sekurang-kurangnya terdapat empat rukun wakalah yaitu sebagai berikut[4] :
 a.       Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
 b.      Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil).
 c.       Obyek yang diwakilkan (Taukil).
 d.      Shighat

4.      SYARAT WAKALAH
Beberapa syarat-syarat mengenai rukun wakalah adalah sebagai berikut :
 a.       Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
  1)      Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
  2)      Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
 b.      Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
  1)      Cakap hukum,
  2)      Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
  3)      Wakil adalah orang yang diberi amanat.
 c.       Hal-hal yang diwakilkan
  1)      Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
  2)      Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam,
  3)      Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.

B.     KAFALAH

1.  Pengertian Kafalah
  Al kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za'amah (tanggungan).
Alkafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggun (kafil)kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pada pihak kedua atau yang ditanggung.[5]
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman adalah sebagai berikut.
a.   Menurut M'azhab Hanafi 
kafalah berarti menggabungkan dzimah (Tanggungan atau beban) kepada dzimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda.
b.      Menurut Mazhab Maliki
Kafalah berarti orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.
c.       Menurut Mazhab Hanbali
Kafalah berarti iltizam (menanggung kewajiban orang lain) sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta keke­kalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.
d.      Menurut Mazhab Syafi'i
Kafalah berarti akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan  atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadir­kannya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Mazhab Syafi'i di atas, al-kaf[ terdiri tiga pengertian, yaitu al-kafalat dan al-kafalat al-abdan.
Dari pengertian secara bahasa tersebut dapat diartikan bahwa kafalah  adalah jaminan, beban, atau tanggungan yang diberikan  oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga  untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yang ditanggung (makful).  Kafalah  juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang  pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Atas jasanya  penjamin dapat meminta imbalan  tertentu dari orang yang dijamin.
2.      LANDASAN SYAR’I
  a.       Alqur’an
     Kafalah  disyaratkan oleh Allah Swt, dalam surat yusuf ayat 66 yang artinya sebagai berikut:

 Dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya piala raja, maka ia  akan memperoleh bahan makanan seberat beban  unta dan aku yang menjamin terhadapnya” (Yusuf:72)
Kat za’im yang berarti penjamin pada surat yusuf diatas adalah gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.

  b.      Hadist
  Rasulullah bersabda:
اَلْعَارِيَةُ مُؤَادَّةٌوَزَعِيْمٌ عَادِمٌ (رواه ابوداودوالترمذى) 

  Pinjaman hendaklah dikembalikan dan menjamin hendaklah membayar”.  (HR. Dawud)

3.      Rukun dan Syarat Kafalah
Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-kafalah satu, yaitu ijab dan Kabul.  Sedangkan menurut para ulama yang lainnya rukun dan sya'rat al-kafalah adalah sebagai berikut :
a.       Dhamin, kafil, atau za'im, yaitu orang yang menjamin di mana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
b.      Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Madmunlah disebut juga dengan mafkul lah, madmun lah disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam, hal tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
c.       Madmun 'anhu atau makful 'anhu adalah orang yang berutang.
d.      Madmun bih atau. makful bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada mafkul bih dapat diketahui dan tetap keadaan­nya, baik sudah tetap mau pun akan tetap.
e.       Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

4.      Jenis-Jenis Al-Kafalah[6]
a.       Kafalh bin-Nafs
Kafalah ini merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal quarantee).
b.      Kafalah bil-maal
Kafalah ini merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang.
c.       Kafalah bit-Taslim
Kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa,pad waktu masa sewea berakhir.
d.      Kafalah al-Munazah
Kafalah ini adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan / tujuan tertentu.contoh jaminan prestasi.
e.       Kafalah al-Muallaqoh
Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munazah,baik oleh industri perbankan maupun asuransi.

5.      Pelaksanaan Al-Kafalah
AI-Kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu :
a.       Munjaz (tanjiz) ialah tanggungan. yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata "Saya tanggung si Fulan d Fulan sekarang", lafaz-lafaz yang menunjukkan al-kafalah menurut para ulama adalah seperti lafaz: Tahammaltu(saya yang memikul) .takaffaltu(saya menjamin), dhammintu(saya yang menjamin), ana kafil laka(saya penjamin kamu), ana za'im, huwa laka 'indi atau hu.wa laka 'alay(barang kamu yang ada di dia adalah tanggung jawab saya)a. Apabila akad penanggungan terjadi, maka penanggungan itu mengikuti akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan, atau dicicil, kecuali disyaratkan pada penanggungan.
b.      Mu'allaq (ta'liq) adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seseorang berkata,"Jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang akan membayarnya" atau "Jika kamu ditagih pada A, maka aku yang akan membayarnya," seperti firman Allah"dalam surat yusuf ayat 72 :
Dan barangsiapa yang dapat mengembalikan piala raja, akan memperoleh bahan makanan seberat beban onta dan Aku menjamin terhadapnya (QS Yusuf: 72).
c.       Mu'aqqat (Taukit) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang, "Bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka aku yang menanggung pembayaran_utangmu", menurut Mazhab Hanafi penanggungan seperti ini sah, tetapi menurut Mazhab Syafi'i batal. Apabila akad telah berlangsung maka madmun lah boleh menagih kepada kafil (orang yang menanggung beban) atau kepada madhmun 'anhu atau makful 'anhu (yang berutang), hal ini dijelaskan oleh para ulama jumhur.
6.    Penerapan Kafalah
  Kafalah diterapkan perbankan syariah untuk berbagai keperluan, misalnya seorang nasabah yang mendapatkan pembiayaan dengan jaminan  nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik  tidak memegang jaminan apa pun, bank dapat berharap  tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah  yang dibiayai mengalami kesulitan.Atau bisa juga bank bertindak sebagai penjamin kepada pemilik proyek atas pelaksanaan suatu proyek oleh kontraktor.

C.   HIWALAH

1.      Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Pengertian hiwalah menurut istilah mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:

a.       Menurut Hanafiyah, yang di maksud hiwalah ialah:
Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.

b.      Menurut Syihab Al-Din Al-Qalyubi
Hiwalah ialah akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari sesearang kepada yang lain.

c.       Menurut  Taqiyuddin
Hiwalah ialah pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.[7]

2.      Dasar Hukum Hiwalah

a.       Sunnah
Rasulullah saw. bersabda:

مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ

Menunda pembayaran bagi orang yang mampu ialah suatu kezaliman . Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan kepada orang yang mampu atau kaya, terimalah hawalah itu.

b.      Ijma’
Hiwalah di bolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang atau benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.

3.      Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya ijab dan kabul,yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah antara lain:

a.       Orang yang memindahkan hutang(muhilf)
b.      Orang yang menerima hiwalah(rah al-dayn)
c.       Orang yang di hiwalahkan(mahal ‘alah)
d.      Adanya utang muhil kepada muhal alaih
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah ada empat sebagai berikut:
a.       Muhil,yaitu  orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang
b.      Muhtal, yaitu orang yang di hiwalahkan 
c.       Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah
d.      Shighat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya
Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq sebagai berikut:
a.       Relanya pihak mihil dan muhal tapa muhal ‘alaih
b.      Samanya kedua hak
c.       Stabilnya muhal ‘alaih
d.      Hak tersebut diketahui dengan jelas[8]
4.      Pembagian Hiwalah
Menurut Mazhab hanafi, hiwalah dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:
a.       Ditinjau dari segi objek akad:
1)      Al hiwalah al haqq, apabila yang dipindahkan  merupakan hak menuntut utang.
2)      Al hiwalah ad dain, apabila yang dipindahkan adalah kewajiban untuk membayar utang.
b.      Ditinjau dari segi yang lain:

1)      Al hiwalah al muqayyadah (pemindahan bersyarat), yaitu pemindahan  sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama  kepada pihak kedua.
Contoh :  A mempunyai piutang kepada B, sedangkan B mempunyai piutang kepada  C. B kemudian mengalihkan hak untuk menuntut utangnya terhadap C kepada A sebagai  ganti pembayaran hutang B kepada A.

2)      Al hiwalah al muthlaqah (pemindahan mutlaq), yaitu pemindahan utang yang tidak ditegaskan  sebagaiganti dari pembayaran utang pihak pertama  kepada pihak kedua.
Contoh:  A  berutang kepada B dan A memiliki piutang kepada C.  A mengalihkan utangnya terhadap B kepada C tanpa menyebutkan bahwa pengalihan itu sebagai ganti pembayaran hutang C kepada A.  Dengan demikian C berkewajiban membayar hutangnya kepada B.
Ulama hanafiyah berpendapat al hiwalah al muqayyadah dan al hiwalah al muthlaqah boleh dilaksanakan, dengan syarat, pada  al hiwalah al muthlaqah, pihak ketiga menerima pemindahan utang. Sedangkan menurt ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, yang boleh  dilakukan hanya al hiwalah al muqayyadah, karena di dalam  al hiwalah al muthlaqah  kemungkinan terjadinya gharar (penipuan) sangat besar.

5.      Akibat Hukum Hiwalah

a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama  untuk membayar utang kepada  pihak kedua  secara otomatis menjadi terlepas. Sebagian ulama Hanafi, antara lain, Kamal bin al Hummam, kewajiban tetap ada, selama pihak ketiga  belum melunasi hutangnya kepada pihak  kedua, karena  akad itu didasarkan  atas prinsip saling percaya , bukan prinsip  pengalihan hak dan kewajiban.

b.      Akad hiwalah menyebabkan lahirnya  hak bagi pihak kedua  untuk menuntut pembayaran utang kepada pihak  ketiga.

c.       Mazhab Hanafi yang membenarkan terjadinya al Hiwalah al muthlaqah  berpendapat jika akad hiwalah al muthlaqah  terjadi karena  inisiatif dari pihak pertama , maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan  ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad  utang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika  jumlah utang piutang antara ketiga pihak tidak sama.

6.      Berakhirnya Akad Hiwalah

a.       Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu  mem-faskh (membatalkan) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan itu akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran  utang kepada pihak pertama. Demikian pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.

b.      Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.

c.       Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.

d.      Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu 
kepada pihak ketiga.

e.       Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk mem­bayar utang yang dialihkan itu.

f.       Hak pihak kedua,

7.      Penerapan Hiwalah

Dalam dunia perbankan , hiwalah digunakan untuk  hal-hal sebagai berikut:

a.       Factoring
b.      Post dated chech,.
c.       Bill discounting.[9]

D.    RAHN

1.      Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai(al-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.Menurut istilah syara’, rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.

2.      Dasar Hukum Rahn
Landasan hukum pinjam memimjam dengan jaminan adalah firman allah swt.  dalam surat albaqoroh 283 berikut:
                       

Artinya:"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan (rahn) yang dipegang (oleh yang berpiutang)." (QS Al-Baqarah : 283)

Dalil As-Sunnah :

عن عائشة أم المؤمنين قالت إنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اِشْتَرَى طَعَاماً مِنْ يَهُوْدِيٍّ إلىَ أجِلٍ وَرَهَنَه دِرْعَهُ مِنْ حَدِيْدٍ
Dari 'Aisyah dia berkata,"Bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi secara hutang dan menggadaikan baju besinya." (HR Bukhari).

3.      Rukun dan Syarat Gadai
a.       Akad ijab dan kabul
b.      Aqid, yaitu yang menggadaikan(rahin) dan yang menerima gadai(murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
c.       Barang yang di jadikan jaminan(borg), syarat benda dalam keadaan tidak rusak sebelum janji utang harus di bayar.
d.      Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap

4.      Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Barang gadai setelah diterimakan/dipegang (al-qabdhu) oleh penerima gadai (murtahin), tidak berarti menjadi milik murtahin, melainkan tetap menjadi hak milik pemberi gadai (raahin).
Dari Abu Hurairah, dia berkata,"Bahwa Nabi SAW telah bersabda,'Tidak tertutup barang gadai dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia berhak mendapat keuntungannya, dan dia menanggung kerugiannya." (HR Syafi'i & Daruquthni, hadis hasan).
      Jumhur Fuqaha, bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
      Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat di pergunakan atau binatang ternak yang dapat di ambil susunya, maka penerima gadai dapatmengambil manfaat dari keduabenda gadai tersebutdi sesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang di keluarkannyaselama kendaraan atau binatangternak ituada padanya.
      Pengambilan manfaatpada benda-benda gadai di atasditekankan kepada biayaatau tenaga untuk pemeliharaansehingga bagi yang memegang barang-barang gadai di atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadai adalah hewan.

5.      Resiko kerusakan Marhun
      Bila marhun hilangdi bawah kekuasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantikannya, kecuali rusak atau hilangnya itu karena kelalian murtahin, atau karena di sia-siakan. Murtahin di wajibkanmemelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
      Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian(di sia-siakan)maupun tidak.
      Menurut Syafi’iyah, murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena dirusakkan atau dihilang karena di rusakkan murtahin.

6.      Penyelesaian Gadai
      Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang di rugikan, dalam gadai tidak boleh di adakan syarat-syarat. Apabila terdapat syarat dalam akad gadai, akad gadai itu tidak sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu di perhatikan.
      Apabila pada waktu pembayaran yang telah di tentukan rahin belum membayar hutangnya, hak murtahin adalah menjualmarhun, pembelinya boleh marhun sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku waktu itu. Dari penjualan marhun tersebut, hak murtahin hanya sebesar piutangnya. Dengan akibat apabila penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya di kembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin harus menanggung pembayaran kekurangannya.

E.     QIRADH

1.      Pengertian Qiradh
Menurut bahasa Qiradh diambil dari kata qardh yang berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Qiradh disebut juga dengan mudharabah(bagi hasil).
Menurut istilah Syar’i qiradh berarti akad diantara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi diantara mereka berdua sesuai perjanjian yang telah disepakati.[10]

2.      LANDASAN HUKUM QIRADH
a.       Al Qur’an
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS.Al Baqarah: 198)
b.      As Sunah
Hadits yang berkaitan dengan qiradh antara lain:
Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain) dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan” (HR. Ibnu Majah dan Shuhaib)
Dalam hadits yang lain diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Abbas bahwa Abbas Ibn Muthalib jika memberikan harta untuk mudarabah, dia mensyaratkan kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan, menuruni jurang dan membeli hati yang lembab. Jika melanggar persyaratan tersebut ia harus menanggungnya. Persyaratan tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau memperbolehkannya.

3.      RUKUN dan SYARAT QIRADH
a.       Sighat
yaitu ijab qabul dengan ucapan yang bermakna qiradh.
b.      Dua pihak yang berakal.
Dua pihak yang berakad harus memenuhi syarat:
1)      baligh dan berakal
2)      ada izin secara mutlak,pemodal tidak boleh mempersempit ruang gerak.
3)      pekerja bebas bekerja
c.       Harta
Harta dalam akad qiradh harus memiliki syara :
1)      modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham atau sejenisnya
2)      modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran
3)      modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada ditempat akad
4)      modal harus diberikan kepada pengusaha
d.      Pekerjaan
Pekerjaan tersebut disyaratkan harus pekerjaan yang mendatangkan keuntungan,misalnya perdagangan.
e.       Keuntungan
Keuntungan harus dibagi dua antara pemodal dan pekerja sesuai dengan perjanjian yang disepakati.

4.      PERTENTANGAN ANTARA PEMILIK DAN PENGUSAHA
a.       Perbedaan dalam mengusahakan (Tasyaruf) harta.
Diantara pemilik modal dan pengusaha terkadang ada perbedaan dalam hal keumuman ber-tasyaruf, kerusakan harta, pengembalian harta, ukuran laba yang disyaratkan, serta ukuran modal.
Jika terjadi perbedaan antara pemilik modal dan pengusaha, yaitu satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah khusus, yang diterima adalah pernyataan yang menyangkut hal-hal umum alam perdagangan, yakni menyangkut pendapatan laba, yang dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum.
b.      Perbedaan dalam harta yang rusak
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan disebabkan pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya, maka yang diterima berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah yakni tidak ada khianat.
c.       Perbedaan tentang pengembalian harta
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hambaliyah adalah pernyataan pemilik modal.
Adapun menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah yang diterima adalah ucapan pengusaha, sebab pengusaha dipercaya.
a.       Perbedaan dalam jumlah modal
Ulama fiqih sepakat bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah modal, yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya.
b.      Perbedaan dalam ukuran laba
Ulama hanafiyah dan hambaliyah berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa disyaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut pemilik adalah sepertiganya.
Ulama malikiyah berpendapat, yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya denan syarat:
a.       Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam mudharabah.
b.      Harta masih dipegang oleh pengusaha. Menurut ulama syafi’iyah’ jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembagian laba, harus diputuskan oleh hakim, kemudian pengusaha berhak mendapatkan upah atas perniagaanya.

5.      HAL YANG MEMBATALKAN QIRADH
a.       Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Qiradh menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan (Tasyaruf), dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan tetapi jika pengusaha tidak mengetahui bahwa qiradh telah dibatalkan, pengusaha (mudharib) dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
b.      Salah seorang akid meninggal dunia
Jumhur lama berpendapat bahwa qiradh batal jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha. Hal ini karena qiradh berhubungan dengan perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil atau yang mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang sempurna dan sah, baik diketahui salah seorang yang melakukan akad atau tidak.
c.       Salah seorang aqid gila
Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan qiradh, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah.
d.      Pemilik modal murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut imam abu hanifah, hal itu membatalkan qiradh sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati. Hal itu menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta, dengan dalil bahwa harta orang murtad dibagikan diantara para ahli warisnya.
e.       Modal rusak ditangan pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, qiradh menjadi batal. Hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal.
Begitu pula, qiradh dianggap rusak jika modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.





BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

1.      Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
2.      Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak yang ditanggung,juga berarti mengalihkan tanggung jawab.
Jenis-jenis al-kafalah sebagai berikut :
ü  Kafalah bin-nafs
ü  Kafalah bil-maal
ü  Kafalah bit-taslim
ü  Kafalah al-munazah
ü  Kafalah al-muallaqoh
3.      Hiwalah berarti pemindahan,dalam konteks ini dibahas pemindahan hutang atau beban tanggung jawab.
4.      Rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
5.      Qiroth berarti bagi hasil.

    B.     SARAN-SARAN
Penulisan buku ini di tujukan sekadar bisa menjadi gambaran sekilas, tambahan dan wawasan tentang dunia ilmu fiqh. Penulis menyarankan agar bisa menjadi tuntunan kita dalam melaksanakan sesuai syari’at islam yang telah di tetapkan.


DAFTAR PUSTAKA


Suhendi,Hendi.Fiqih Muamalah.Jakarta:Rajawali Pers.2010
Aziz,Abdul.Fiqih Muamalat.Jakarta:Amzah.2010
Antonio,Muhammad Syafi’i. Bank Syariah. Jakarta:Taskia Cendekia. 2001
Ahmad Sarwat Lc, Konsep Akad Wakalah dalam Fiqh Muamalah, Rhesa Yogaswara,2009.

Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia, Kashiko, 2000.

Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2008.



[1] Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia, Kashiko, 2000, hlm. 693.
[2] Dr. H. Hendi Suhendi, Msi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Press, hlm. 233.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2008, hlm. 120-121.
[4] Ahmad Sarwat Lc, Konsep Akad Wakalah dalam Fiqh Muamalah, Rhesa Yogaswara,2009.
[5] Abu Bakar ibnu mas’ud al-Kasani, al-badai was-sama’i fi tartib ash-sara’i, edisi ke-2 IV, halm 2:al-kamal ibnu humam,fathul qodir.beriut darul klitab, 2002.
[6] Antonio,Muhammad Syafi’i. Bank Syariah. Jakarta:Taskia Cendekia. 2001
[7] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Rajawali Pers, Jakarta,2010, hlm. 99-100.
[8] Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 101-102.
[9] Antonio,Muhammad Syafi’i. Bank Syariah. Jakarta:Taskia Cendekia. 2001
[10] Hendi suhendi,fiqih muamalah, rajawalai pers, jakarta ;2010